Klik sini kalau masuk ke blog saya :)

Sunday 18 December 2011

PALITAN CINTA YANG MAHA AGUNG...

Ada sebuah kisah tentang cinta yang sebenar-benar cinta yang
dicontohkan Allah melalui kehidupan Rasul-Nya. Pagi itu, walaupun
langit telah mulai menguning, burung-burung gurun enggan mengepakkan
sayap. Pagi itu,Rasulullah dengan suara terbatas memberikan kutbah,
“Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta
kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua
perkara pada kalian, Al Qur’an dan sunnahku. Barang siapa mencintai
sunnahku, bererti mencintai aku dan kelak orang-orang yang
mencintaiku, akan masuk syurga bersama-sama aku.” Khutbah singkat itu
diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang tenang dan penuh minat menatap sahabatnya satu persatu.

Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun
menahan nafas dan tangisnya.Usman menghela nafas panjang dan Ali
menundukkan kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang,saatnya
sudah tiba. “Rasulullah akan meninggalkan kita semua,” keluh hati semua
sahabat kala itu. Manusia tercinta itu, hampir selesai menunaikan tugasnya didunia.
Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan cergas
menangkap Rasulullah yang berkeadaan lemah dan goyah ketika turun dari
mimbar. Disaat itu, kalau mampu, seluruh sahabat yang hadir di sana
pasti akan menahan detik-detik berlalu. Matahari kian tinggi, tapi
pintu rumah Rasulullah masih tertutup. Sedang didalamnya, Rasulullah
sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi
pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam.
“Bolehkah saya masuk?” tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya
masuk,”Maafkanlah, ayahku sedang demam,” kata Fatimah yang membalikkan
badan dan menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata
dan bertanya pada Fatimah, “Siapakah itu wahai anakku?” “Tak tahulah
ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah lembut.
Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan.
Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang.
“Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang
memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut,”kata Rasulullah,
Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang
menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya.
Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas
langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.

“Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?” Tanya Rasululllah
dengan suara yang amat lemah. “Pintu-pintu langit telah terbuka, para
malaikat telah menanti ruhmu. Semua syurga terbuka lebar menanti
kedatanganmu,” kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuatkan
Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. “Engkau tidak senang
mendengar khabar ini?” Tanya Jibril lagi. “Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?”
“Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah
berfirman
kepadaku: ‘Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad
telah berada di dalamnya,” kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas.Perlahan ruh
Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh,
urat-urat lehernya menegang. “Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini.”
Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya
menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. “Jijikkah kau
melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?” Tanya Rasulullah pada
Malaikat pengantar wahyu itu. “Siapakah yang sanggup, melihat kekasih
Allah direnggut ajal,” kata Jibril.

Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, kerana sakit yang tidak
tertahankan lagi. “Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua
siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku.” Badan Rasulullah mulai
dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar
seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya.
“Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku” – “Peliharalah shalat
dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.”

Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan.
Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan
telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. “Ummatii, ummatii,
ummatiii” – “Umatku, umatku, umatku” Dan, berakhirlah hidup manusia
mulia yang memberi sinaran itu.

Kini, mampukah kita mencintai sepertinya? Allahumma sholli ‘ala
Muhammad wa baarik wa salim ‘alaihi… Betapa cintanya Rasulullah
kepada kita. Karena sesungguhnya selain daripada itu
hanyalah fana belaka

No comments:

Post a Comment